Lanjut ke konten

SENSITIVITAS YANG BERKURANG

Agustus 2, 2008

Jika saya menggunakan motor, maka rute pulang kerja yang saya lalui adalah Kantor – Pos 4 Pelabuhan Tanjung Emas – Ronggowarsito – perempatan lampu merah belok kiri lalu sebelum pom bensin belok kanan melewati jalan yang banyak terdapat bengkel cat mobil lalu terus ke Raden Patah. Namun sudah beberapa waktu ini jalan yang banyak terdapat bengkel mobil itu ditutup karena ada perbaikan jalan. Memang di jalan itu terdapat lubang yang besar sekali. Karenanya terpaksa saya harus melewati Pasar Kobong untuk menuju Raden Patah.

Melewati jalan di Pasar Kobong ini sebenarnya merupakan perjuangan. Saya harus berjuang untuk menahan napas, mulai dari awal masuk ke Pasar Kobong sampai ke Raden Patah. Jika tidak, maka bersiaplah untuk mencium aroma busuk yang merupakan kombinasi bau ayam, kotoran ayam, pakan ayam, limbah ayam, dan sisa pemotongan ayam. Jika kombinasi aroma ini bersatu, aroma yang dihasilkan cukup untuk menusuk hidung dan membuat puyeng.

Saat melewati jalan di Pasar Kobong ini, sering saya melihat orang-orang mengobrol atau bekerja normal, tanpa menggunakan masker, seolah mereka tak terganggu sama sekali dengan bau busuk. Hebatnya lagi, bahkan ada yang makan dengan lahap dan santainya! Saya lalu berkesimpulan hidung orang-orang itu sudah tak sensitive lagi dengan bau busuk. Mengapa? Karena setiap hari mereka hidup dan tinggal di area yang berbau busuk. Sensifitas mereka terhadap bau busuk berkurang atau hilang karena tiap hari tinggal, makan, dan tidur di situ.

Saya lalu teringat sebuah hukum dalam ilmu ekonomi. Namanya hukum Diminishing of Sensitivity, yang kalau diartikan sebagai hukum sensifitas yang berkurang. Gambarannya begini, sebagai orang Padang saya terbiasa dengan makanan pedas. Saat pertama kali tinggal di Yogya, lidah saya begitu sensitive saat mencoba makanan Jawa yang umumnya manis. Namun seiring dengan waktu, setelah 17 tahun hidup di Jawa, lama-lama lidah saya bisa menyesuaikan dengan masakan Jawa yang manis, walaupun tetap menyukai masakan Padang. Demikian kira-kira arti dari hukum Diminishing of Sensitivity.

Hukum ini menjelaskan bahwa secara tidak sadar manusia itu bisa tidak sensitive dengan keadaan karena rutinitas atau kebiasaan. Saya membayangkan, jika di sebuah perusahaan ada orang yang terjangkit hukum ini sebenarnya sangat berbahaya. Seorang yang biasa bekerja lambat, lambat laun tidak menyadari kalau ia bekerja lambat. Seorang yang terbiasa terlambat, lama-lama terbiasa jika ia terlambat. Akan lebih berbahaya lagi dalam hal memandang defect. Seorang yang sering membuat produk defect, lama-lama tidak sensitive lagi dengan defect.

Kita harus sensitive terhadap hal negative. Sensifitas itu akan menyadarkan kita bahwa ada hal yang harus diperbaiki. Jangan sampai kita seperti hidung orang yang tinggal di Pasar Kobong. Kita telah terbiasa dengan defect, sampai akhirnya kita tidak menyadari bahwa defect yang dihasilkan sudah terlalu banyak dan menggunung. Kita merasa “aman-aman saja” karena setiap hari kita telah terbiasa dengan defect sampai akhirnya kita tidak sensitive lagi dengan defect. Jangan pernah mentoleransi defect! Walau sedikit, defect tetap defect, harus dihilangkan! Di banyak perusahaan ada standard defect “ppm” (part per million). Artinya dari sejuta produk, hanya satu yang cacat/defect. Bagaimana dengan kita?

Mari kita berkerja keras untuk terus mengurangi defect dan melakukan improvement. Jangan terlena dengan keadaan. Kita harus sensitive terhadap hal negative. Kita harus berubah menjadi lebih baik!

Tanjung Mas, 15 July 2008

Sent: Wednesday, July 16, 2008 7:48 AM

6 Komentar leave one →
  1. Widyanarko Saputro permalink
    November 30, 2008 8:36 pm

    Pak Fadlly

    Dari melihat artickle ini ada beberapa pertanyaan dari saya :

    Kapan kepekaan positif itu akan mulai timbul ? Dan bagaimana cara terbaik untuk menimbulkan kepekaan positif tersebut ?

    [FS]
    Pak Wid,

    Saya jawab semampu saya;
    Kepekaan (pada hal positive dan negative) akan muncul hanya bagi orang yang peka, orang yang peduli. Orang yang masa bodoh cenderung akan terbawa arus oleh keadaan. Seseorang yang telah peka, lalu ia mau berfikir, orang itu akan mampu membaca apakah ia berada dalam lingkungan yang positif atau negative. Andy Groove, bekas CEO Intel, menulis buku Only Paranoid Survives, hanya orang paranoid yang bisa bertahan/survive. Bagi Andy orang paranoid itu orang yang sensitive/peka, ia akan berfikir takut kalah, takut rugi, takut tidak kompetetif, sehingga akhirnya ia mencoba berfikir gimana caranya supaya tidak kalah, apa yang dilakukan supaya tidak rugi, dan strategi apa yang dilakukan supaya kompetitif. Sensitifitas mendorong dirinya untuk memperbaiki keadaan.

    Tidak terlena dengan keadaan adalah syarat lain. Keadaan itu kadang memberi efek negative. David Beckham kalau lahirnya di Bantul Indonesia , bisa jadi nggak bakal jadi pemain bola hebat. Rudy Hartono kalau dulu lahir di High Point juga mungkin nggak jadi juara All England 8 kali. Amerika tidak punya tradisi bagus dalam bulutangkis.

    Namun sejarah juga mencatat orang sukses yang lahir dalam lingkungan yang tidak kondusif. Nabi Muhammad lahir di jaman jahiliyah. Sukarno-Hatta lahir di jaman penjajahan. Tapi mereka orang yang tidak masa bodoh dengan keadaan. Jika Muhammad menyerah dengan lingkungan saat itu, mungkin kita masih berada di jaman jahilliyah. Jika Soekarno-Hatta cuma pasrah pada Belanda dan Jepang, mungkin kita masih menjadi bangsa terjajah.

    Itulah sebabnya tidak ada orang yang bersikap masa bodoh tercatat dalam sejarah dengan tinta emas. Sejarah hanya mencatat orang/kelompok/perusahaan yang sukses adalah mereka yang peka dan kritis terhadap lingkungannya dan berjuang memperbaiki keadaan.
    Mudah-mudahan menjawab ya. Silahkan kalau yang lain ada yang mau menambahkan.

  2. F. Ratna Pujiastuti permalink
    November 30, 2008 8:38 pm

    Pak Fadly,

    Boleh saya sedikit memberi tambahan.

    Kepekaan erat kaitannya dengan persepsi (cara pandang )individu terhadap kondisi yang sedang di alami dan di hadapi.

    Bila individu memiliki cara pandang positip dan kritis (ini artinya pula bahwa Ia senantiasa berpikir positip) maka saat individu tersebut berada pada kondisi yang kurang baik individu tersebut akan mampu melihat hal yang baik (sesuatu yang harus diperbaiki).

    Banyak orang-orang besar terlahir dari kondisi yang sangat tidak mengenakan. Dan mereka mampu menjadi orang yang besar karena mereka selalu berpikir positip dan kritis dalam segala hal.

    Bila seorang individu terbiasa berpikir positip dan kritis maka individu tersebut dengan sendirinya akan memiliki kepekaan yang baik.

    Sebaliknya, bila seorang individu terbiasa berpikir negative maka kondisi yang terbaik sekalipun tidak mampu dirasakan oleh individu tersebut. Apalagi bila individu tersebut berada pada kondisi yang kurang baik, maka Ia akan cenderung putus asa dan menyalahkan orang lain serta lingkungan yang bagi Ia penyebab segala kegagalan.

    Berpikir positiplah agar kita bisa punya kepekaan untuk senantiasa memperbaiki diri.

  3. Muji Rahayu permalink
    November 30, 2008 9:16 pm

    mas Sulis,

    Saya tertarik apa yg ditulis oleh mbak Ratna.

    Tolong baca dan resapi balasan dari mbak Ratna yg sudah saya blok merah.

    karena saya merasakan anda dan team anda sebagai customer kami selalu complain dalam forum.

    Padahal kami beserta team sudah berusaha keras melakukan perubahan dan perbaikan dari masalah-masalah yg sering terjadi di Finishing.

    karena anda beserta team sudah mempunyai fikiran negative,maka perubahan apa yg sudah dilakukan oleh team assembly tidak pernah dirasakan,diapresiasi dan diakui dari team anda.

    Data sudah membuktikan defect yg kembali ke Assembly sedikit dan lancarnya Output Anda.

    Pengakuan yg jujur dan berfikiran yg positive akan membawa keberhasilan team yang solid.

    Regards,
    MR

  4. Dwi Listanto permalink
    November 30, 2008 9:19 pm

    Mbak Muji,

    Sebelum mbak Ratna nulis dan sebelum pak Fadhly mengirim article ini kita selalu berpikir positive..tive..tive . ..Komplain juga bagian dari proses dan dilihat per-kasus.Dan komplain bukan berarti menyalahkan …setuju tidak

    Jadi justru yang dirasakan Mbak Muji ini kan malah berpikir Negative LHO….

    Benar Sanding saat ini cukup bagus..OK deh…tapi jangan besar kepala dulu dong …soalnya yang namanya komplain tetap lanjut teruuus…ben gak sombong.

    Assembly/Sanding 2 Team Maturnuwun ya…

    DIVISION 2 =SUPERTEAM

    Mbak muji mohon tulisan diatas cukup dihayati tapi gak perlu tak blok merah.

    rgds,
    Sulis

    [FS]
    Saya kira apa yang kita lakukan sekarang ini adalah bagian dari meningkatkan komunikasi. Saya menganggap diskusi adalah bagian dari komunikasi. Email di bawah ini menunjukkan kita dapat berkomunikasi secara positif dengan tetap menjunjung tinggi kesantunan berkomunikasi. Saya mendukung segala upaya agar kita bisa berdiskusi secara sehat.

    Pak Sulis,
    Mengenai DIVISION 2 = SUPERTEAM, saya 100% mendukung!!!

    Syaratnya, harus bareng-bareng! Ibarat orang mau shalat, nawaitu-nya (niat) sudah ada, tinggal takbir-nya yang harus disegerakan. Minimal sekarang ini kita ini sudah punya modal “semangat”. Setelah “semangat”, selanjutnya adalah “action”.
    Siap untuk action ya…..

  5. Muji Rahayu permalink
    November 30, 2008 9:22 pm

    Pak fadhly,

    saya setuju dg pendapat pak fadhly

    cuma sekarang yg menjadi problem adalah untuk bisa menumbuhkan orang supaya bisa peka dan peduli dan tidak masa bodoh terhadap masalah itu sulit.

    Apakah orang untuk bisa peduli dan peka harus melalui proses kekerasan (disipliner) atau karena dari pribadi org itu sendiri yg selalu berfikir dan pingin berubah utk menjadi lebih baik ?

    karena untuk masalah ini tidak cuma terjadi pada tingkat operator saja tapi pada tingkat SPV juga.

    pada umumnya mereka tidak mau belajar dari kesalahan dan mempelajarinya supaya masalah itu tidak terulang kembali.

    Regards,
    MR

    [FS]
    Menumbuhkan kepekaan itu sulit, bisa jadi iya. Untuk itulah harus ada yang memulai. Semua leader (spv,spi, DH, manager) haruslah menjadi pioneer dalam hal ini. Mereka ini harus ada di depan, dalam memulai dan memberi contoh tentang kepekaan. Kalau leader-nya tidak peka, bagaimana lagi anak buahnya. Selain itu kita semua harus bermental pembelajar. Inti dari keberhasilan Jepang adalah kaizen (perbaikan yang terus-menerus). Perubahan (change) selalu terjadi. Orang yang tidak mau berubah, silahkan siap-siap “ditelan” kompetisi. Orang yang masih pake mesin ketik di tengah zaman yang sudah computerized seperti sekarang pasti akan tersingkirkan.

    Sanksi itu bagi saya optional. Kalau mau menembak burung, cukup pake senapan. Tapi kalau mau nembak pesawat harus pake rudal. Jangan sampai kita nembak burung pake rudal. Sanksi juga demikian, harus proporsional.

    Kelihatannya diskusi sudah mulai terjadi dan saya menanggapi hal ini secara positif. Bahkan Mba’ Ratna juga sudah mulai ikutan. Mudahan hal seperti ini memberi manfaat buat kita.

  6. F. Ratna Pujiastuti permalink
    November 30, 2008 9:23 pm

    Mb Muji,

    Proses hukuman itu adalah salah satu bagian dari proses untuk merubah diri, karena hukuman juga bagian dari pembelajaran.

    Nah, bila individu hanya memandang hukuman hanya sebagai hukuman maka Ia tidak akan berubah, tetapi bila individu tersebut melihatnya sebagai proses dari belajar maka individu tersebut akan mencari jalan memperbaiki diri.

    Kita diciptakan paling sempurna diantara sekian banyak makhluk Tuhan, dan yang paling istemewa adalah kita dikaruniai otak dengan bermilyar-milyar susunan syaraf yang tidak lagi berfungsi bila kita mati.

    Jadi selalu gunakan otak kita untuk terus belajar dari kehidupan agar ketika hidup kita berakhir ada maknanya.

    Salam..

    Regards,
    Ratna

Tinggalkan Balasan ke Muji Rahayu Batalkan balasan